Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Elang dan Sigit

Sumber gambar pinterest 
https://pin.it/6eXEemi


  Elang dan Sigit

  Sore ini mendung menyelimuti dusun Ragemanunggal. Tak menyurutkan semangat Elang untuk bermain bersama teman-temannya. Mumpung libur semester ganjil. 
Emak Lilik dan Bapak Arman sibuk bekerja paling pulang malam. Seperti itulah setiap hari.
 Elang kadang ditinggal sendirian di rumah.

 Dulu waktu Elang masih kecil masih sering dititipkan kepada tetangga sekarang sudah kelas empat SD sudah bisa mengerti keadaan rumah. Elang bebas, merdeka bila orang tuanya pergi bekerja. 

Bergegas dia pergi ke rumah temannya yang bernama Sigit. 

 "Sigit main yuk," Elang mengajak Sigit yang sedang membantu Bunda Ecy menyapu halaman rumah, mereka seumuran. 

"Ntar dulu Elang, pekerjaanku belum rapi?" ujar Sigit masih menyapu halaman.

 "Sudah bersihkan, yuk kita pinjam sepeda Zaldy kita tukar saja dengan layang-layangku. Nanti kita mampir ke rumah dulu, biar kita sama-sama ke lapangan Sakura." Elang tetap berusaha membujuk Sigit agar segera menyudahi pekerjaannya. 

 Taman Sakura lumayan jauh dari dusun mereka bila ditempuh jalan kaki kira-kira setengah jam. Elang berhasil mengajak Sigit dan mereka pergi tanpa pamit pada Bunda Ecy. Bunda Ecy masih sibuk di dapur mencuci sambil memasak. Bunda Ecy merasa suara sapu sudah diam tapi Sigit tidak muncul-muncul ke rumah.

 Kemana ya Sigit? Kenapa suara sapu tidak terdengar lagi? "Sigit ... Sigit ... Sigit ... Suara Bunda Ecy mamanggil anaknya sampai keliling dusun Ragemanunggal. Batang hidung Sigit raib tak berbekas.

 "Zaldy apakah kau tadi melihat Sigit?" Ujar Bunda Ecy sudah mulai khawatir karena selama ini Sigit selalu pamit jika pergi kemana- mana. Ini merupakan peraturan di rumah. "Tadi mereka memang ke sini Bibi, pinjam sepedaku dan ditukar dengan layang-layang padahal aku tidak suka memainkannya."

 "Terus mereka kemana ya," tukas Bunda Ecy di pipinya mulai menetes keringat karena sudah keliling dusun mencari Sigit belum ketemu.

 "Tadi Elang mengajak aku juga Bibi ke lapangan Sakura, tapi saya disuruh Mama menemani Delia bermain. Delia adiknya Zaldy berumur lima tahun."

 "Terima kasih ya nak Zaldy, kamu anak yang baik menurut sama orang tua. Memang mamamu kemana?" Kata Bunda Ecy lagi.

 "Mama pergi ke pasar Bibi," ujar Zaldy. 

"Ya udah, Bibi pulang dulu, nanti jika mereka kembali suruh Sigit cepat pulang ke rumah ya." Bunda Ecy berpesan sambil melangkahkan kaki menuju ke rumahnya tidak berada jauh dari rumah Zaldy. Elang dan Sigit sangat asyik bermain sepeda sampai hari sudah siang. Rasa lapar sudah melanda perut mereka.

 "Elang, pulang yuk! Aku sudah capek, haus dan lapar." Sigit berhenti mengayuh sepeda dan Elang tidak mau berhenti. "Kok berhenti, satu putaran lagi ya!" Elang masih menyuruh Sigit mengayuh sepeda.

 "Aku tidak kuat lagi, perutku sudah bunyi," ujar Sigit sambil memegangi perutnya. "Ah kamu mah payah, baru juga beberapa putaran," Elang tetap ngotot ingin naik sepeda. 

 "Ya udah, kamu saja main sendiri, aku pulang," ujar Sigit sambil keningnya mengernyit. Sepeda diserahkan kepada Elang, Sigit pulang sendirian. Elang akhirnya pulang juga mengikuti Sigit.

 "Sigit tunggu!" Ya udah aku yang bawa sekarang ya," kata Elang. "Nah gitu dong, kan aku tidak capek jalan kaki ke rumah." ujar Sigit dengan wajah senang. Mereka pulang hari sudah siang jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Sampai di rumah setelah mengembalikan sepeda Zaldy, buru-buru Sigit menuju rumah, wajahnya ketakutan kena marah sama Bunda Ecy. Setelah mendengar cerita Zaldy bahwa Bunda Ecy mencarinya. Bunda Ecy air mukanya sudah berubah dari putih menjadi merah menahan marah.

 "Assalamualaikum," ujar Sigit begitu masuk rumah. "Salam, Bunda Ecy membalas salam Sigit dengan nada sengit. 

 "Anakku, berapa kali Bunda bilang, kalau pergi itu wajib izin dulu! Jangan main pergi aja! Ngerti nggak!" Bunda Ecy nyerocos terus seperti rel kereta api tak berhenti kecuali di stasiun. 
 "Ampun Bunda, Sigit janji tidak mengulangi kesalahan yang telah berlalu." Wajah Sigit memelas merasa bersalah sama Bunda Ecy. Bunda Ecy juga menegur Elang kalau mengajak Sigit tetap pamit pada orang tuanya. Elang merasa bersalah dan sedih karena dia kalau pergi tidak pernah pamit karena orang tuanya tidak pernah ada di rumah. Elang ingin juga Emak Lilik sering ada di rumah, iri melihat Sigit orang tuanya peduli dan memperhatikan semua perbuatan yang dilakukan Sigit.

 "Jadi di rumah kamu tinggal sendirian Elang," ujar Bunda Ecy. "Iya Bibi, emak paling ntar sore baru pulang begitu juga bapak jam setengah sepuluh sampai di rumah. Kadang aku sudah tidur." Elang bercerita dengan sendu.

 "Elang, bapak dan emakmu bekerja buat kamu jadi tetaplah pulang sebelum sore ya," Bunda Ecy menasehati Elang. 

"Nanti jika ingin main ke sini boleh saja, tapi ingat tetap pamit sama Emak dan Bapak walaupun mereka berangkat pagi. Caranya sebelum mereka berangkat kamu pamit dulu, bilang mau kemana bila siang hari."

 "Iya Bibi, terima kasih," ujar Elang. Bunda Ecy merasa kasihan juga terhadap Elang seperti tidak punya orang tua. Dia baru tahu kehidupan Elang seperti itu, maklumlah mereka baru pindah ke Dusun Ragemanunggal. Semenjak itu Elang sering main ke rumah Sigit, dan Bunda Ecy malah senang Sigit punya teman tidak kesepian lagi di rumah, maklumlah anak semata wayang. 

 Sekian. 

 Oleh Erina Purba Bekasi,28122019

5 komentar untuk "Elang dan Sigit"

  1. Wow ... Keren. Coba rutin nulis di blognya, ananda. Biar kita saling kunjung. Selamat siang. Terima kasih telah berbagi cerita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ok Benda, akan saya coba, terima kasih ya

      Hapus
    2. Ok Neknda , saya usahakan blog ini hidup lagi

      Hapus