Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tanah Sengketa


Sumber gambar

https://pin.it/Z33io9d

Tanah Sengketa


Peluh membasahi baju yang lusuh. Meskipun sudah tua sisa tenaga masih ada. Perempuan tua itu menyunkan linggisnya kembali untuk menghancurkan pembatas yang baru di semen di belakang rumah. Linggis itu terbuat dari besi sepanjang satu meter. Lumayan berat. Tak terasa berat baginya. Setiap hari memacul tanah di ladang kopi yang luas. 

Sudah keberapa kalinya semen itu dihancurkannya. Hari ini disemen , esoknya dihancurkan lagi. Sehingga ketiga kalinya tetangga sebelah kanan melaporkan ke polisi atas anjuran tetangga sebelah kiri.

"Hei, Nek jangan dihancurkan lagi semennya, Nenek tidak berhak atas tanah ini. Cukup ini yang terakhir. Jika besok Nenek masih menghancurkan semen pembatas. Kami pasti tindaklanjuti. "Ujar Pak Sukardi tetangga sebelah kanan. Yang merasa berhak atas tanah yang berada di halaman belakang Nenek Talita.

"Aku tidak takut, walaupun kamu menyerahkan sebataylion polisi. Tanah ini adalah milikku. Ada suratnya di rumah." Nenek Talita tetap mempertahankan haknya meskipun dia tahu sudah terlambat. Surat tanah itu sudah terlambat dibuat. Sudah keduluan tetangga sebelah kanan atas hasutan tetangga sebelah kiri Pak Harto yang berstatus pejabat. Pak Harto tahu seluk-beluk pertanahan. Surat-surat tanah yang bisa diganti kepemilikannya. Pak Harto baru pindah rumah. Rumah yang dibelinya kurang luas. Ternyata sudah lama dia mengamati tanah Nenek Talita yang masih luas di halaman belakang.

Pak Harto mencari akal agar tanah itu segera menjadi miliknya. Dia mengetahui tetangga sebelah kanan Nenek Talita butuh uang untuk biaya sekolah dan kuliah anaknya. Dengan segala pengelasan bagaimana agar tanah itu menjadi duit. Pak Harto menghalalkan segala cara. Sebenarnya Pak Harto masih ada hubungan keluarga jauh dengan Nenek Talita. Tetapi karena ingin punya rumah luas serta mau membuka usaha tambahan. Pak Harto berencana membuka usaha dagang jualan beras. 

Posisi rumah sangat strategis persis bersebrangan dengan pasar tradisional. Jadi bila usaha toko beras pasti laku. 

Nenek Talita adalah tetangga barunya dan luas rumahnya lumayan. Selain itu ada juga tanah di belakang rumah yang lumayan luas kira-kira satu rante. Berhubung tetangga sebelah kiri atau Pak Harto menginginkan tanah itu dan Nenek Talita juga sangat kukuh tetap mempertahankannya. Tanah itu menjadi tanah sengketa.

Tanah itu bersengketa karena surat tanah tidak akurat. Padahal konon katanya sudah dibeli tapi tidak ada surat. Yang punya tanah sudah meninggal.

"Sisa tanah belakang itu jadikan saja milik kalian." Ujar Pak Sumargo pemilik asli tanah itu. 
"Tambahkan saja Rp 150.000 lagi, kebetulan aku juga mau beli tanah di kota, jadi uangnya kurang." Bulan depan aku ke sini lagi agar tanda tangan surat-suratnya." Terakhir kata-kata Pak Sumargo sebelum pindah ke kota. Berhubung karena kesibukan masing-masing tanah itu pun terbengkalai. Akhirnya suratnya tidak ada padahal sudah dibeli. Tidak ada tanda tangan tetangga sebelah kanan atau Pak Sukardi.

Pak Sumargo sudah tua renta dan sakit-sakitan. Tak berapa lama dia meninggal. Dan meninggalkan empat orang anaknya  yang hidup jauh di kota. Tetangga sebelah kanan mengaku bahwa tanah itu sudah dibeli oleh mereka. Pak Sukardi mengambil kesempatan itu agar tanah belakang rumah Nenek Talita segera menjadi miliknya. Pak Harto membuka pikirannya karena tanah itu tidak bersurat. Jadi sebelum Pak Sumargo meninggal, Pak Sukardi sudah minta tanda tangan tanah itu adalah miliknya.

Perempuan tua itu bernama Talita masih tersisa garis kecantikan di wajahnya. Seorang petani yang telah ditinggal suami dengan sembilan anak.
 Nenek Talita biasa dipanggil namanya. Sudah punya cucu yang sudah menikah. Nenek Talita di usia senja masih mendapatkan perlakuan tidak adil. Perempuan tua itu hidup sebagai petani sejati. Pekerja keras. Anak-anaknya diusahakan bisa meraih bangku sekolah. Tidak semuanya mencapai bangku kuliah. Tetapi semuanya tamat SMA.

Kecantikan alami yang dimiliki Nenek Talita meskipun tinggal di desa. Beliau katanya bunga desa. Tinggi semampai. Kecantikan Nenek Talita masih tersisa walaupun sudah tua. Nenek Talita semasa mudanya sangat perkasa. Tangannya dingin. Hasil panen kopi dan tanaman lainnya di ladang cukup berhasil. Nenek Talita termasuk dalam kategori petani unggulan. Sehingga dia mendapatkan penghargaan dari pemerintah. Mendapatkan bantuan pupuk kimia dan gilingan kopi yang canggih. Sebenarnya itu juga atas usul Pak Harto. Dan gilingan kopi itu tidak berguna. Teronggok saja di depan rumah. Hanya formalitas. Agar kewibawaan Pak Harto terlihat. Pak Harto menjadi dielu-elukan masyarakat sekitar. Sehingga kecurangan yang dia buat tidak terlihat. Sekampung tidak percaya Pak Harto yang peduli dengan masyarakat tidak mungkin sekeji itu 


Kecantikan alami Nenek Talita hanya alam yang merawat pipi yang sudah penuh kerutan itu. Kerutan di pipi punya cerita. Mengenai tanah sengketa saksi hidup. Sebenarnya tanah itu benar miliknya. Wajarlah Nenek Talita mempertahankannya. Nenek Talita hanya polos dan lugu. Dia berpikir bahwa tidak ada yang menginginkan tanah itu. Karena posisinya persis di belakang rumah. Sisa tanah itu selebihnya jurang.

Gara-gara Nenek Talita tetap bertahan akhirnya tetangga sebelah kiri yang katanya pejabat melaporkan ke polisi. Siang -siang Pak polisi datang serta merta membawa nenek Talita.

 Anak-anak Nenek Talita segera membebaskannya. Mereka langsung pulang ke kampung halaman. Ada empat orang yang tinggal di kota.

Memiliki anak sembilan. Empat lelaki lima perempuan. Anak-anak Nenek Talita memperjuangkan nasib ibunya. Mereka ikut mempertahankan tanah sengketa. Anak-anak Nenek Talita segera menjadi pelindung untuk ibu yang tua renta. Sungguh tega memang tetangga sebelah kanan dan kiri. Membawanya ke kantor polisi.

Tanah sengketa naik banding. Nenek Talita waktu itu masih berumur 70 tahun. Keperkasaannya masih tersisa. Beliau tidak takut polisi dan pengadilan. Menurutnya dia hanya mempertahankan miliknya. Sampai maut menjemputnya. Perjuangannya hanya sebatas itu. Tanah sengketa bertahan memang. Tidak bisa digunakan. Terbengkalai begitu saja. 

Perjuangan Nenek Talita dengan tanah sengketa diancungkan jempol. Sampai mati tetap dipertahankan walaupun akhirnya setelah dia tiada tanah itu menjadi milik tetangga sebelah kanan dan kiri.

Maut pun menjemput Nenek Talita. Bersoraklah hati tetangga sebelah kanan dan kiri. Mereka senyum di atas kematian Nenek Talita. Tanah sengketa diusut kembali. Anak-anak Nenek Talita berhubung sudah pada berkeluarga dan sebagian tinggal di kota. Tidak bisa mempertahankan tanah itu. Anak-anak Nenek Talita tidak memiliki bukti akurat. Tanah itu menjadi milik tetangga sebelah kiri. Tidak hanya itu, dengan ketamakannya sisa tanah yang berukuran satu meter itu juga menjadi hak miliknya. 

  Setelah lima tahun berlalu. Tanah itu sudah menjadi milik tetangga yang berstatus pejabat. Apalah daya bukti yang dimiliki Nenek Talita tidak akurat. Sehingga mudah dialihkan menjadi hak milik orang lain. Biarlah mereka menikmati hidup bahagia di kala masih di bumi. Harta tidak dibawa mati. Nenek Talita meninggal tak satupun harta dibawanya. Tanah sengketa kini menjadi kebanggaan tetangga kiri dan kanan. Bangga atas keberhasilan mereka yang punya kekuasaan dan uang.




Bekasi, 24012022

Cerita ini fiktif belaka. Bila ada kesamaan tokoh dan cerita hanya kebetulan belaka. Murni imajinasi penulis.

18 komentar untuk "Tanah Sengketa"

  1. Balasan
    1. Terima kasih Mba Suci, semoga bisa buat kisah yang menarik dan bermanfaat

      Hapus
  2. Mba Ester memang keren dalam menulis 👍👍👍

    BalasHapus
  3. Terima kasih Mbak Dinni lebih hebat Mba Dinni, keren

    BalasHapus
  4. Keren, Kak Ester. Tampilan blognya, bikin betah.

    BalasHapus
  5. Tanah memang masalah sensitif. Terlebih zaman sekarang. Manusia tambah banyak, tanah tak pernah nambah. Selamat malam, ananda Ester. Terima kasih telah berbagi inspirasi.

    BalasHapus
  6. Mantap.... bisa panjang begitu nulisnya mbak... semoga bisa ketularan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin, lama-lama pasti bisa Mba Elizabeth semangat

      Hapus